Senin, 29 September 2014

MANAKAH YANG LEBIH MENAKJUBKAN ?

Kisah menakjubkan yang disampaikan oleh seorang da’i. Sang da’i berkata : “Pelaku kisah ini bercerita kepadaku”:

“Suatu hari aku bersafar dari Thoif menuju Riyadh bersama istri dan anak-anakku. Akan tetapi di tengah jalan mobilku rusak. Tatkala itu cuaca panas. Maka akupun berhenti di dekat salah satu pom bensin (*tempat peristirahatan yang juga lengkap dengan warung serta bengkel). Maka aku mengecek mobilku dengan memanggil seorang montir yang ada di bengkel disekitar pom bensin tersebut. Sang montir mengabarkan bahwa mobilku rusak berat, mesin penggeraknya rusak, hanya bisa diperbaiki di Thoif atau di Riyadh.

Maka akupun berdiri di bawah terik matahari, sementara istri dan anak-anakku tetap berada di dalam mobil. Aku tidak tahu apa yang harus aku kerjakan…, anak-anakku bagaimana…?, istriku?, mobilku?, aku bingung apa yang harus aku lakukan. Orang-orang melewatiku dan melihat kondisiku akan tetapi tidak seorangpun yang menyapaku, semuanya lewat dengan cuek. Hingga akhirnya tidak berapa lama kemudian ada seseorang yang lewat dan berkata, “Semoga Allah menolongmu…, semoga Allah memberi kemudahan padamu”. Ini adalah orang yang terbaik yang lewat, ia mendoakanku. Tak lama kemudian ada seseorang yang keluar dari pom bensin lalu berhenti di mobilku yang rusak lalu menyapaku,

“Assalaamu’alaikum”, Aku berkata, “Wa’alaikum salam”. Ia berkata, “Ada apa dengan mobilmu, semoga baik-baik saja?”. Aku berkata, “Mobilku rusak”. Rupanya orang ini punya keahlian tentang mesin mobil. Maka ia berkata, “Coba aku cek dulu ada apa dengan mobilmu…”. Setelah mengecek lalu ia berkata, “Ini rusak berat, tidak bisa diperbaiki”.
Aku berkata, “Lantas solusinya bagaimana?”. Ia lalu menyampaikan sebuah ide yang selama hidupku tidak pernah aku mendengar ide seperti ini, padahal ia tidak mengenalku dan aku tidak mengenalnya.

Ia berkata, “Akhi.., engkau membawa keluarga sedangkan aku hanya sendirian…, engkau masukkan saja istri dan anak-anakmu ke mobilku terus bawalah mobilku, lanjutkan perjalananmu ke Riyadh, dan bertawakkallah kepada Allah. Adapun aku gampang…, aku akan nungguin mobilmu, aku minum kopi di warung, dan aku makan siang…. Perjalananmu masih sekitar 400 km. Kalau kamu sudah sampai di Riyadh maka antarkan keluargamu di rumahmu, lalu kirim aja mobil pengangkut dari Riyadh untuk menjemput aku dan mobilmu. Aku akan menunggui mobilmu sampai datang mobil penjemput  !!”.

Aku berkata, “Wahai saudaraku…, engkau tidak mengenalku…bagaimana engkau memberikan mobilmu kepadaku !!”.
Ia berkata, “Perkaranya biasa aja…kan mobilmu juga sama aku, mobilku sama kamu”
Aku sungguh heran dengan sikap orang ini. Ia lantas segera mengeluarkan barang-barangku dari mobilku dan memasukannya ke mobilnya, lantas ia berkata…”Silahkan jalan, bertawkkallah kepada Allah”.

Maka akupun melanjutkan perjalananku hingga aku tiba di Riyadh di waktu maghrib, lalu akupun menyewa mobil pengangkut untuk menjemputnya dan mobilku. Dan ternyata mobil pengangkut tersebut baru sampai pada keesokan paginya. Hingga akhirnya ia baru sampai di Riyadh di waktu dzuhur. Begitu sampai Riyadh aku segera menemuinya untuk mengembalikan mobilnya. Aku berkata kepadanya, “Apa yang kau kehendaki..?, mungkin ada yang kau butuhkan…??, aku ingin membalas kebaikanmu”

Ia berkata, “Alhamdulillah…aku tidak melakukan apa-apa buatmu…mobilku sekarang kembali dan mobilmu juga sudah sampai ke Riyadh”
Aku berkata, “Kalau begitu, aku minta nomor teleponmu”, iapun memberikan nomor teleponnya dan kamipun berkenalan sebentar.

Setelah itu berjalanlah hari…berlalulah minggu…lewatlah bulan.. hingga suatu hari akupun berkumpul dengan sahabat-sahabtku membicarakan tentang perbuatan-perbuatan baik. Lalu aku ceritakan kepada mereka kisahku ini, tentang pertolongan dari seseorang yang aku tidak pernah mengenalnya dan ia tidak pernah mengenalku. Sungguh aku tidak menyangka ada kebaikan lagi di dunia ini hingga akhirnya aku bertemu dengan orang ini. Ia telah berbuat baik kepadaku.

Akupun teringat bahwasanya sudah lama aku tidak meneleponnya, maka akupun mencari nomor teleponnya, lalu akupun meneleponnya. Akan tetapi tenyata yang mengangkat telepon adalah istrinya. Maka aku berkata, “Dimanakah si fulan?”, ternyata istrinya menjawab dengan nada yang ketus, “Apalagi yang kalian inginkan…ia sudah dipenjara !!!”. Akupun terperanjat, aku bertanya, “Kenapa dipenjara?”. Istrinya dengan nada ketus berkata, “Kamu dan orang-orang yang sepertimu selalu saja datang dan menagih-nagih hutang hingga akhirnya suamiku dipenjara !!!”, Aku bertanya lagi, “Di penjara mana?”, maka istrinya mengabarkan bahwasanya ia dipenjara di sebuah penjara di Riyadh.

Maka keesokan harinya aku hendak berniat membalas kebaikannya. Maka akupun membawa uang sejumlah 100 ribu real (*sekitar 250 juta rupiah) lalu aku pergi menunju penjara tersebut. Aku menemui kepala penjara, lantas aku bertanya kepadanya, “Apakah si fulan dipenjara di sini?”, ia berkata, “Benar”. Aku berkata, “Masalahnya apa?”, ia berkata, “Karena masalah hutang”. Akupun mengeluarkan uangku 100 ribu real, lalu aku berkata, “Ini uang 100 ribu real, keluarkanlah ia dari penjara, dan jangan beritahu dari siapa. Sampaikan saja bahwasanya ada seorang dermawan yang memberikan, lunasi hutang-hutangnya dan keluarkanlah ia dari penjara”.

Kepala penjara tersebut lalu memanggil orang ini dan mengabarkan kepadanya bahwa ada orang yang ingin membebaskannya dengan menyumbangkan 100 ribu real. Kepala penjara berkata kepadanya, “Ambillah uang ini, semoga bermanfaat bagimu”. Akan tetapi ternyata  ia berkata, “Jazaahullahu khoiron, akan tetapi 100 ribu real ini tidak bermanfaat bagiku. Hutangku 3 juta real (*sekitar 7,5 milyar)”.

Rupanya orang ini telah masuk dalam perdagangan dan mengalami kerugian hingga akhirnya terlilit hutang sejumlah 3 juta real yang menyebabkan ia dipenjara karena tidak mampu untuk melunasinya. Lantas ia berkata kepada kepala penjara, “Ketahuilah uang 100 ribu real ini tidak bermanfaat bagiku, akan tetapi gunakan uang ini untuk membebaskan orang-orang yang dipenjara bersamaku yang kelilit utang 7 ribu real, atau 10 ribu real atau 20 ribu real“. Akhirnya dengan uang ini ia bisa membebaskan lebih dari 7 orang dari teman-temannya yang dipenjara.

Kepala penjara berkata, “Aku jadi bingung…manakah yang lebih menakjubkan…apakah perbuatan sang dermawan yang telah menyumbangkan 100 ribu realnya tanpa ingin diketahui…?, ataukah perbuatan orang yang dipenjara ini yang tidak memiliki uang sepeserpun dan dalam kondisi dipenjara lantas memberikan uang 100 ribu real untuk membebaskan teman-teman penjaranya??!!”

Setelah 2 atau 3 minggu kemudian maka aku kembali menelpon orang itu, dan ternyata yang mengangkat telepon kembali adalah istrinya. Lalu mengabarkan kepadaku bahwasanya suaminya masih saja dipenjara. Maka akupun kaget, lalu kututup teleponku dan segera aku berangkat menemui kepala penjara. Lalu aku berkata, “Akhi…3 minggu lalu aku kemari dan aku memberikan kalian 100 ribu real untuk membebaskan si fulan, lantas kenapa kalian belum membebaskannya?”. Kepala penjara berkata, “Wahai akhi…hutangnya 3 juta real, hanya 100 ribu real tentu tidak bisa membebaskannya. Akan tetapi wahai akhi…aku tidak tahu..mana yang lebih aneh dan menakjubkan…apakah perbuatanmu ataukah perbuatannya”.

Lantas kepala penjarapun menceritakan kepadaku apa yang telah terjadi. Maka akupun terperangah….aku berkata, “Sungguh orang ini luar biasa…!!!”. Lalu aku berkata kepada kepala penjara, “Kalau begitu berikan kepadaku bukti-bukti hutangnya 3 juta real”. Kebetulan aku adalah orang yang dilapangkan rizki dan juga aku punya banyak kenalan, maka akupun mencari bantuan dengan menemui orang-orang kaya hingga akhirnya setelah 3 bulan kemudian akupun bisa mengumpulkan 3 juta real, lalu akupun membayarnya kepada kepala penjara untuk membebaskannya”.

(Demikian ceritanya…diterjemahkan secara bebas oleh Ust. Firanda Andirja)

Sumber: smstauhiid.com

Selasa, 13 Mei 2014

KISAH DUA TUKANG SOL SEPATU


Mang Udin, begitulah dia dipanggil. Seorang penjual jasa perbaikan sepatu yang sering disebut tukang sol sepatu. Pagi buta Mang Udin sudah melangkahkan kakinya meninggalkan anak dan istrinya yang berharap, nanti sore hari, Mang Udin membawa uang untuk membeli nasi dan sedikit lauk pauk.

Mang Udin terus menyusuri jalan sambil berteriak menawarkan jasanya. Sampai tengah hari, baru satu orang yang menggunakan jasanya. Itu pun hanya perbaikan kecil.
Perutnya mulai keroncongan. Hanya air teh bekal dari rumah yang mengganjal perutnya. Mau beli makan, uangnya tidak cukup. Hanya berharap dapat order besar sehingga bisa membawa uang ke rumah. Perutnya sendiri tidak dia hiraukan.

Di tengah keputusasaan, dia berjumpa dengan seorang tukang sol sepatu lainnya. Wajahnya cukup berseri. “Pasti, si Abang ini sudah dapat uang banyak, nih,” pikir Mang Udin. Mereka berpapasan dan saling menyapa. Akhirnya berhenti untuk bercakap-cakap.

“Bagaimana dengan hasil hari ini, Bang? Sepertinya laris, nih?” kata Mang Udin memulai percakapan. “Alhamdulillah. Ada beberapa orang memperbaiki sepatu,” kata tukang sol yang kemudian diketahui namanya Bang Soleh.

“Saya baru satu, Bang, itu pun cuma benerin jahitan,” kata Mang Udin memelas.
“Alhamdulillah, itu harus disyukuri.” “Mau disyukuri gimana, nggak cukup buat beli beras juga,” kata Mang Udin sedikit kesal.

“Justru dengan bersyukur, nikmat kita akan ditambah,” kata Bang Soleh sambil tetap tersenyum. “Emang begitu, Bang?” tanya Mang Udin, yang sebenarnya sudah tahu harus banyak bersyukur. “Insya Allah. Mari kita ke masjid dulu, sebentar lagi azan Dzuhur,” kata Bang Soleh sambil mengangkat pikulannya.

Mang udin sedikit kikuk, karena dia tidak pernah “mampir” ke tempat shalat.
“Ayolah, kita mohon kepada Allah supaya kita diberi rezeki yang barakah.”
Akhirnya, Mang Udin mengikuti Bang Soleh menuju sebuah masjid terdekat. Bang Soleh begitu hafal tata letak masjid, sepertinya sering ke masjid tersebut.

Setelah shalat, Bang Soleh mengajak Mang Udin ke warung nasi untuk makan siang. Tentu saja Mang Udin bingung, sebab dia tidak punya uang. Bang Soleh mengerti.

“Ayolah, kita makan dulu. Saya yang traktir.” Akhirnya Mang Udin ikut makan di warung tegal terdekat. Setelah makan, Mang Udin berkata, “Saya tidak enak, nih. Nanti uang untuk dapur Abang berkurang dipakai traktir saya.”

“Tenang saja, Allah akan menggantinya. Bahkan lebih besar dan barokah,” kata Bang Soleh tetap tersenyum. “Abang yakin?” “Insya Allah,” jawab Bang Soleh meyakinkan. “Kalau begitu, saya mau shalat lagi, bersyukur, dan mau memberi kepada orang lain,” kata Mang Udin penuh harap.

“Insya Allah. Allah akan menolong kita,” kata Bang Soleh sambil bersalaman dan mengucapkan salam untuk berpisah.

Keesokan harinya, mereka bertemu di tempat yang sama. Bang Soleh mendahului menyapa. “Apa kabar, Mang Udin?” “Alhamdulillah, baik. Oh ya, saya sudah mengikuti saran Abang, tapi mengapa kok penghasilan saya malah turun?

Hari ini, satu pun pekerjaan belum saya dapat,” kata Mang Udin setengah menyalahkan. Bang Soleh hanya tersenyum. Kemudian berkata, “Masih ada hal yang perlu Mang Udin lakukan untuk mendapat rezeki barakah.” “Oh ya, apa itu?” tanya Mang Udin penasaran. “Tawakal, ikhlas, dan sabar,” kata Bang Soleh sambil kemudian mengajak ke masjid dan mentraktir makan siang lagi.

Keesokan harinya, mereka bertemu lagi, tetapi di tempat yang berbeda. Mang Udin yang berhari-hari ini sepi order berkata setengah menyalahkan lagi, “Wah, saya makin parah. Kemarin nggak dapat order, sekarang juga belum. Apa saran Abang tidak cocok untuk saya?”

“Bukan tidak cocok. Mungkin keyakinan Mang Udin belum kuat atas pertolongan Allah. Coba renungkan, sejauh mana Mang Udin yakin bahwa Allah akan menolong kita?” jelas bang Soleh sambil tetap tersenyum. Mang Udin cukup tersentak mendengar penjelasan tersebut. Dia mengakui bahwa hatinya sedikit ragu. Dia “hanya” coba-coba menjalankan apa yang dikatakan oleh Bang Soleh.

“Bagaimana supaya yakin, Bang?” kata Mang Udin sedikit pelan hampir terdengar.
Rupanya, Bang Soleh sudah menebak, ke mana arah pembicaraan Mang Udin.
“Saya mau bertanya, apakah kita janjian untuk bertemu hari ini, di sini?” tanya Bang Soleh. “Tidak.” “Tapi kenyataanya kita bertemu, bahkan tiga hari berturut-turut. Mang Udin dapat rezeki bisa makan bersama saya. Jika bukan Allah yang mengatur, siapa lagi?” lanjut bang Soleh.

Mang Udin terlihat berpikir dalam. Bang Soleh melanjutkan, “Mungkin, sudah banyak petunjuk dari Allah, hanya saja kita jarang atau kurang memperhatikan petunjuk tersebut. Kita tidak menyangka Allah akan menolong kita, karena kita sebenarnya tidak berharap. Kita tidak berharap, karena kita tidak yakin.” Mang Udin manggut-manggut. Sepertinya mulai paham. Kemudian mulai tersenyum.

“Oke, deh, saya paham. Selama ini saya akui saya memang ragu. Sekarang saya yakin. Allah sebenarnya sudah membimbing saya, saya sendiri yang tidak melihat dan tidak mensyukurinya. Terima kasih, Bang,” kata Mang Udin, matanya terlihat berkaca-kaca.

“Berterima kasihlah kepada Allah. Sebentar lagi Dzuhur, kita ke masjid, yuk. Kita mohon ampun dan bersyukur kepada Allah.” Mereka pun mengangkat pikulan dan mulai berjalan menuju masjid terdekat sambil diiringi rasa optimis bahwa hidup akan lebih baik.

Dikisahkan Ustadz Ahmad Sonhaji

Selasa, 18 Maret 2014

PEMILU DATANG LAGI !!!



Tahun ini, pesta demokrasi terbesar akan dirayakan massal oleh masyarakat Indonesia. Kalau dicermati secara seksama, sebenarnya ini bukanlah pesta demokrasi, melainkan kerja demokrasi atau tugas demokrasi. Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, Indonesia melakukan segala upaya pendidikan demokrasi bagi warganya. Tak terkecuali dengan diselenggarakannya pemilu.

Pemilu di Indonesia sebenarnya bukan hal yang baru, beberapa tahun sebelumnya juga ada. Tetapi, urgensinya bukan pada terbudayanya demokrasi melalui pemilu, melainkan pentingnya masyarakat berpartisipasi dalam menentukan siapa yang akan memimpinnya. Para wakil rakyat akan dipilih langsung oleh rakyatnya, hingga yang paling tinggi adalah Presiden yang akan memimpin bangsa besar bernama Indonesia 5 tahun kedepan.

Masyarakat pun beragam menyikapi ini. Ada yang menganggap pemilu sebagai ajang perebutan kekuasaan semata hingga mereka acuh-tak acuh, ada pula yang beranggapan pemilu sebagai titik baik atas perubahan yang lebih baik, bahkan ada pula yang berpikiran bahwa demokrasi melalui pemilu bukan cara yang religius.

Mereka yang acuh-tak acuh lebih memilih untuk menjadi golongan yang tak berpihak pada siapapun atau yang lebih dikenal dengan istilah golongan putih (golput). Alasan logis yang ada pada benak mereka adalah sudah tidak ada kepercayaan lagi pada calon-calon yang ada.

Namun, kenyataanya kita sudah terjun dalam agenda besar ini. Dimana sebagian kalangan mengharapkan penuh pada momentum ini untuk kehidupan yang lebih baik dan kesejahteraan yang semakin tinggi. Itulah harapan mayoritask penduduk ini.

Benar apa yang dikatakan Asma Nadia seorang tokoh wanita, bahwa jika mereka yang tak berpihak dinamakan golongan putih apakah yang berpihak itu dinamakan golongan hitam? padahal putih sangat identik dengan kesucian, kebaikkan? Negara akan kehilangan suara orang-orang pintarnya apabila ia bersikap apatis terhadap negara. Bukankah memperbaiki bangsa, lebih efektif bila kita masuk kedalamnya dan mengendalikan semuanya? Konsep inilah yang barang kali harus kita pahami.

Anis Matta, seorang tokoh nasional mengatakan, "Kita tidak bisa memperbaiki Indonesia, jika hanya sebagai pemimpin, kita harus menjadi otaknya Indonesia dan tulang punggungnya Indonesia !"

Demokrasi tidak lebih dari "panggung pergulatan" antara yang benar dengan yang salah, antara kebaikkan dengan kejahatan. Dimana kita menghendaki kebaikkan dan kebenaran.

Di akhir tulisan ini, penulis mengajak pada pribadi dan khalayak, mari kita bersama-sama memperbaiki bangsa. Mari, kita bersama-sama menggapai kesejahteraan bangsa. Indonesia terlalu besar untuk diabaikan. Jadilah pemilih yang cerdas, yaitu pemilih yang selalu memikirkan dan mempersiapkan bekal untuk hari esok. Bisa jadi, ini akan merubah kehidupan kita. Tetapi jangan sampai merubah kepada yang lebih buruk.

PILIHLAH PEMIMPIN INSPIRATIFMU !