Tahun ini, pesta demokrasi terbesar akan dirayakan massal oleh masyarakat Indonesia. Kalau dicermati secara seksama, sebenarnya ini bukanlah pesta demokrasi, melainkan kerja demokrasi atau tugas demokrasi. Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, Indonesia melakukan segala upaya pendidikan demokrasi bagi warganya. Tak terkecuali dengan diselenggarakannya pemilu.
Pemilu di Indonesia sebenarnya bukan hal yang baru, beberapa tahun sebelumnya juga ada. Tetapi, urgensinya bukan pada terbudayanya demokrasi melalui pemilu, melainkan pentingnya masyarakat berpartisipasi dalam menentukan siapa yang akan memimpinnya. Para wakil rakyat akan dipilih langsung oleh rakyatnya, hingga yang paling tinggi adalah Presiden yang akan memimpin bangsa besar bernama Indonesia 5 tahun kedepan.
Masyarakat pun beragam menyikapi ini. Ada yang menganggap pemilu sebagai ajang perebutan kekuasaan semata hingga mereka acuh-tak acuh, ada pula yang beranggapan pemilu sebagai titik baik atas perubahan yang lebih baik, bahkan ada pula yang berpikiran bahwa demokrasi melalui pemilu bukan cara yang religius.
Mereka yang acuh-tak acuh lebih memilih untuk menjadi golongan yang tak berpihak pada siapapun atau yang lebih dikenal dengan istilah golongan putih (golput). Alasan logis yang ada pada benak mereka adalah sudah tidak ada kepercayaan lagi pada calon-calon yang ada.
Namun, kenyataanya kita sudah terjun dalam agenda besar ini. Dimana sebagian kalangan mengharapkan penuh pada momentum ini untuk kehidupan yang lebih baik dan kesejahteraan yang semakin tinggi. Itulah harapan mayoritask penduduk ini.
Benar apa yang dikatakan Asma Nadia seorang tokoh wanita, bahwa jika mereka yang tak berpihak dinamakan golongan putih apakah yang berpihak itu dinamakan golongan hitam? padahal putih sangat identik dengan kesucian, kebaikkan? Negara akan kehilangan suara orang-orang pintarnya apabila ia bersikap apatis terhadap negara. Bukankah memperbaiki bangsa, lebih efektif bila kita masuk kedalamnya dan mengendalikan semuanya? Konsep inilah yang barang kali harus kita pahami.
Anis Matta, seorang tokoh nasional mengatakan, "Kita tidak bisa memperbaiki Indonesia, jika hanya sebagai pemimpin, kita harus menjadi otaknya Indonesia dan tulang punggungnya Indonesia !"
Demokrasi tidak lebih dari "panggung pergulatan" antara yang benar dengan yang salah, antara kebaikkan dengan kejahatan. Dimana kita menghendaki kebaikkan dan kebenaran.
Di akhir tulisan ini, penulis mengajak pada pribadi dan khalayak, mari kita bersama-sama memperbaiki bangsa. Mari, kita bersama-sama menggapai kesejahteraan bangsa. Indonesia terlalu besar untuk diabaikan. Jadilah pemilih yang cerdas, yaitu pemilih yang selalu memikirkan dan mempersiapkan bekal untuk hari esok. Bisa jadi, ini akan merubah kehidupan kita. Tetapi jangan sampai merubah kepada yang lebih buruk.
PILIHLAH PEMIMPIN INSPIRATIFMU !